Saturday 23 March 2013

Dayak Salako


Sumber : http://www.kebudayaan-dayak.org
Dayak Salako adalah sekelompok subsuku Dayak yang bermukim di kawasan Perbatasan Kalimantan Barat, Indonesia dengan Sarawak Malaysia. Letak pemukiman masyarakat Salako berada di dataran-dataran tinggi, yaitu di kawasan perbukitan yang memanjang dari ujung pulau dekat laut (Paloh) di daerah Kampung Bamatn sampai ke Kampung Sajingan yang langsung berbatasan dengan Kampung Biawak daerah Lundu-Malaysia Barat. Dataran tinggi yang memanjang dari Kampung Bamatn (Sunge Baning) sampai ke Kampung Sajingan besar ini disebut Pegunungan Poe. Pegunungan Poe menjadi batas langsung antara Indonesia dan Malaysia.
Di wilayah Salako mengalir satu sungai yang disebut Sungai Bantanan. Sungai ini bermuara di Sungai Sambas daerah Galing dan mengalir ke Laut Cina Selatan. Nama Bantanan diabadikan untuk memberikan nama bagi wilayah adat mereka, yaitu Binua Bantanan. Kekayaan alam yang utama di daerah Salako adalah kayu yang mempunyai nilai tinggi di pasaran dunia. Jenis-jenis kayu berkualitas tinggi di antaranya adalah kayu belian, meranti, mabang, bengkirai, dan lain sebagainya. Namun sayang sekali, sejak kawasan tersebut diserahkan kepada PT Yamaker, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 79. II-1967, pada tanggal 1 November 1967 dengan areal penguasaan seluas kurang lebih 843.500 hektar, kawasan hutan Dayak Salako menjadi rusak berat.
Padahal sebelum mengelola kawasan ini berdasarkan Forest Agreement, PT Yamaker ditugaskan selain mengusahakan hutan juga mensejahterakan kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan mengamankan wilayah perbatasan. Ternyata setelah beroperasi selama lebih dari 30 tahun, kondisi sumber daya hutan di wilayah ini rusak berat. Misi untuk mengamankan wilayah dari aktivitas penyelundupan, pencurian kayu, dan perambahan batas negara tidak tercapai. Misi mensejahterakan penduduk hanyalah pepesan kosong belaka. Malahan penduduknya semakin miskin karena kehilangan hutan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Banyak penduduk Salako di wilayah ini yang tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya.Satu-satunya jalan yang menghubungkan Sambas dengan Sajingan sampai ke Aruk dan Biawak, hingga saat ini belum jadi padahal kayu yang diangkut keluar wilayah Dayak Salako ini bernilai miliaran dollar Amerika Serikat. Selain itu, hukum adat] yang mengatur tatanan kehidupan masyarakat juga hancur. Generasi muda juga sudah mulai meninggalkan adat tradisi nenek moyang mereka. Generasi mudanya enggan untuk menetap di wilayah adat mereka. Hal ini bisa dimaklumi mengingat alamnya sudah tidak bisa lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka akan makanan dan akan tempat tinggal yang aman bebas dari gangguan.
Penduduk Salako di Kecamatan Sajingan Besar harus berbesar hati melihat sanak saudara mereka di negeri jiran hidup lebih makmur dan sejahtera dibandingkan dengan keadaan mereka di Kalimantan Barat. Nasib mereka ternyata ditentukan oleh pihak lain, yaitu pemerintah yang salah satunya melalui perusahaan kayu yang beroperasi di kawasan adat mereka.
Jika dilihat dari asal-usulnya, maka pada zaman dahulu—tidak diketahui secara pasti entah tahun berapa—sekelompok orang di wilayah Binua Aya’ yang arti harafiahnya ‘wilayah yang besar’ bermufakat untuk mencarai daerah baru untuk dijadikan tempat kawasan tempat tinggal dan mencari nafkah, seperti berladang, berkebun, dan berburu. Binua Aya’ ini diperkirakan berasal dari Binua Pakana, Garantukng, Gado’, Gajekng, Sawak, Sango, dan Garantukng Sakawokng, mulai dari wilayah Mempawah Hulu hingga di dataran rendah Bukit Bawakng di Kecamatan Samalantan, Subale, Nyarumkop, dan sekitarnya. Alasan kepindahan ini tidak diketahui secara pasti, apakah karena berperang, bencana alam, atau mungkin karena adanya desakan dari pendantang baru ke wilayah mereka.
Orang-orang Salako menyebut Binua Aya’ ini sebagai tanah asal-usul mereka. Namun Binua Aya’ bukan merupakan binua atau wilayah adat yang berdiri sendiri. Ia merupakan suatu kawasan yang masih terdiri dari beberapa wilayah adat lagi. Konsep Binua Aya’ sebetulnya hanya mau menjelaskan tentang daerah asal-usul (homeland). Menurut tradisi lisan, perjalanan mereka diawali dari daerah Binua Pakana di wilayah Mampawah Hulu. Rombongan ini bermaksud mau mencari daerah baru yang masih belum diketahui tempatnya. Sebelum rombongan berangkat, ketua adat di wilayah Pakana menyarankan agar dibuat terlebih dahulu upacara adat atau ritual adat. Ritual adat ini mereka sebut batanung. Tujuannya adalah untuk menentukan wilayah yang cocok untuk dijadikan sebagai kawasan tempat tinggal atau kampung.
Setelah ditentukan arah yang akan dituju, semua orang di dalam kelompok tersebut membawa masing-masing segumpal tanah yang mereka ambil dari wilayah Binua Aya’. Melalui upacara adat batanung, diadakan upacara khusus untuk memastikan tempat yang cocok, aman, dan subur untuk tempat tinggal, berladang, serta banyak binatang buruan di hutan. Pertanda yang tampak adalah, kalau mereka tiba di suatu tempat dan mendapati tangan mereka yang menggenggam tanah bergetar, itu tandanya tempat tersebut cocok untuk mereka tinggali. Langkah selanjutnya adalah membuat upacara adat di tempat tersebut. Tujuannya adalah meminta izin kepada penunggu tanah atau tempat tersebut agar mereka diperkenankan berdiam di tempat tersebut.
Setelah berjalan berhari-hari, mereka belum juga memperoleh pertanda mengenai tanah yang cocok untuk didiami. Tanpa mengenal rasa putus asa,mereka meneruskan perjalanan. Namun setelah berhari-hari berjalan, mereka pun mulai merasa putus asa dan kelelahan. Mau kembali ke tanah asal-usulnya di daerah Mempawah Hulu kepalang tanggung karena tiada pilihan terbaik. Dengan demikian, mereka meneruskan perjalanan. Pada suatu ketika, rombongan ini dihadang oleh sungai besar. Mereka mengalami kesulitan untuk menyeberangi sungai tersebut. Rasa putus asa pun memuncak. Mereka saling mempersalahkan satu sama lain. ”Ini salah Kao!” katasalah seorang rombongan, dan dibalas oleh yang lain, ”Salah Kao!” dan seterusnya. Sejak saat itu, tempat tersebut disebut Salako. Sungai yang mengalir itu pun disebut Sungai Salako.
Ada juga cerita versi lain yang mengatakan bahwa pada zaman dulu, banyak anjing liar (sejenis serigala) di wilayah tersebut. Anjing liar ini dinamakan lako yang dalam bahasa Badamea disebut ako. Setiap malam anjing-anjing liar ini selalu menyalak, sehingga disebut salak ako. Jadi, Salako berasal dari kata salak lako/ako, yang artinya ‘salak anjing liar yang bernama lako/ako’ (Simon Takdir,2002). Diceritakan kemudian, dengan menggunakan rakit rombongan ini berhasil menyeberangi Sungai Salako tersebut. Sesampainya di Kampung Galing dan Paloh, belum juga ada tanda-tanda bergetarnya tangan mereka yang menggenggam tanah. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju Perbatasan Sarawak, wilayah Sajingan yang terletak di kaki Pegunungan Poe. Sebelum mencapai kaki Gunung Poe, tiba-tiba ada getaran seolah-olah ada gempa. Yang paling keras bergetar adalah tangan mereka yang menggenggam tanah. Hal ini menandakan bahwa mereka telah sampai pada tempat tujuan. Oleh karena itu, mereka segera membuat ritual adat atau upacara adat di tanah yang baru itu. Tujuannya ialah untuk meminta izin kepada penunggu tanah (roh halus atau kamang) agar mereka diperbolehkan menetap di tempat tersebut.
Pegunungan Poe memanjang dari arah selatan (berbatasan laut Cina Selatan) ke utara Perbatasan Kalimantan Barat-Indonesia dan Sarawak-Malaysia Barat. Jika diperhatikan, keadaan alam yang menjadi pemisah Indonesia dan Malaysia merupakan kawasan perbukitan terjal yang memanjang dari wilayah Sambas hingga ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Namun demikian, batas geografis ini tidak berarti apa-apa dalam memisahkan suku Salako dan bahasa yang mereka tuturkan. Hal ini selaras dengan pendapat pakar ilmu bahasa dari Malaysia, Asmah Haji Omar (1970) yang mengatakan bahwa, “Batas wilayah tidak seharusnya sama dengan batas dialek.” Dalam kasus ini termasuk juga bahasa dan penuturnya. Di wilayah Lundu-Sarawak, Malaysia, ada 21 kampung yang termasuk Kampung Kayak Salako yang menuturkan bahasa Salako.
Pada Dayak Salako di Sajingan dan Lundu, ada dua jenis adat yang mengatur tatatan kehidupan masyarakat Salako, yaitu adat Salako Gajekng dan adat Salako Sangkuku’ (lihat Schneider, 1978:74). Dalam implementasinya, kedua jenis adat ini tidak ada bedanya, semua perangkat adat dan tata cara ritualnya pada dasarnya sama. Yang membedakan keduanya adalah cara ngalepet (membungkus) bontokng.22 Pada Adat Salako Gajekng, lepet (bungkus) bontokng-nya disebut lepet amo’ (bungkus nasi). Sedangkan pada Adat Salako Sangkuku’ disebut lepet karake’ atau lepet sirih. Aliran Adat Salako Gajekng melibatkan para panglima, pamane (orang yang cerdik pandai), dan pabanci (orang yang terkenal karena pandai adat istidat, kaya, berkuasa, dan berwibawa). Tugas mereka adalah mengatur dan menentukan jenis dan perangkat adat serta jalannya upacara ritual adat. Sedangkan Salako Sangkuku’ dilaksanakan oleh rakyat kebanyakan, mereka termasuk pelaksana adat atau pelaku adat. Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang menyolok antara para pelaku adat aliran Gajekng dan Sangkuku’.
Jika ditilik dari faktor fisik, budaya, kebahasaan, dan kekerabatan maka fakta-fakta ini semakin memperkuat bahwa kedua kelompok ini merupakan satu kelompok. Namun sejak mereka mulai membedakan diri berdasarkan ritual adat di atas termasuk cerita asal-usul yang menyertainya. Kelompok ini menjadi terbagi dua aliran adat, yaitu aliran adat Salako Gajekng dan aliran adat Salako Sangkuku,’(bandingkan dengan Schneider, 1978:74).
Sebelum kedatangan agama Kristen Katholik di kalangan masyarakat Dayak Salako, kelompok ini juga mengenal dan mempraktikkan adat tradisi yang dikenal dengan nama bakayo (mencari kepala musuh). Pada zaman bakayo tempo dulu, musuh Dayak Salako adalah suku Dayak Iban dan Dayak Sebuyau di wilayah sebelah utara yaitu Sarawak dan sekitar Perbatasan Kalimantan Barat. Dayak Iban dan Sebuyau terkenal karena keagresifan, keberanian, dan kesukaannya berperang. Seorang tokoh Dayak Salako yang terkenal karena keberaniannya membela dan mempertahankan wilayah Salako dari invasi luar adalah Nek Dibo’. Nek Dibo’ dikenal juga dengan nama Panglima Kayo.
Ada beberapa adat istiadat yang masih dipraktikkan oleh orang Dayak Salako, yaitu adat babuakng sia (basunat), adat napukng tawar (basaru’ sumangat), adat naikkatn padi barahu (adat naik dango),adat bapera’ (adat melahirkan), adat perkawinan, dan sebagainya. Ada beberapa bahan yang harus disiapkan dalam melaksanakan upacara adat tersebut, misalnya dalam adat babuakng sia (sunat) secara umum yang harus disediakan adalah enyekng ‘babi’, manok ‘ayam’, gula, kopi, minyak goreng, dan lain sebagainya. Adat babuakng sia atau basunat diterapkan pada anak laki-laki yang baru mau menginjak usia remaja. Bahan-bahan untuk upacara adat tergantung sepenuhnya pada kemampuan masing-masing keluarga yang menyelenggarakannya.
Bahan–bahan untuk adat napukng tawar terdiri dari tapukng sakampel ‘tepung satu kampel’ untuk membuat tumpi ‘kue yang khusus diperuntukkan dalam upacara adat’, pingatn ‘piring’, iso’ ‘pisau’, duit, baras poe’ ‘beras pulut’, baras sunguh ‘beras dari ladang’, pinang, karake’ ‘sirih’, dan timako ‘tembakau’. Untuk membayar bidan beranak, maka beberapa bahan tersebut di atas diserahkan dalam keadaan mentah. Sedangkan pada aliran Salako Sangkuku’, bahan-bahan untuk upacara adat napukng tawar yang harus diserahkan terdiri dari manok 3 eko’ ‘ayam tiga ekor’, binyak goreng ‘minyak goreng’, baras poe’ ‘beras pulut’, beras sunguh ‘beras dari ladang’, bontokng, kapur, pingatn ‘piring’, iso’ ‘pisau’, duit, karake’ ‘daunsirih’, timako ‘tembakau’.
Pembagian bahan-bahan ritual adat tersebut sudah diatur sebagai berikut, yaitu satu ekor untuk adat, setengah ekor untuk bidan dan satu setengah ekor untuk tuan rumah. Dalam aliran adat Salako Gajekng, bontokng harus di-lepet amo’, maksudnya beras yang dimasak dalam daun jenis palem, namun arah lipatannya harus ke belakang. Sedangkan pada aliran adat Salako Sangkuku’, bontokng-nya harus dilipat karake’, artinya daun untuk membungkus bontokng tadi harus dilipat searah permukaan atas daun.
Subsuku Dayak Salako-Badamea yang bermukim di Kabupaten Sambas menyebar di Binua Bantanan yang terletak di Kecamantan Sajingan, yaitu di Kampung Tapakng, Kuranyi, Ngole’, Sajingan, Sunge Ano, Bamatn (Sunge Baning), Asu’ Asakng, Tanyukng, Batu Itapm, Sawah, Sasak, Batakng Aer(Kalimantan), dan Nyala’ (Sanipahan). Kelompok ini tersebar hingga ke wilayah Kecamatan Tebas, yaitu di Kampung Parranyo.
Total jumlah Dayak Salako di Sajingan dan Tebas yaitu 7.294 jiwa di Sajingan Besar dan 706 jiwa di Parranyo, Pangkalan Kongsi, dan sekitarnya (sensus Tahun 2001). Subsuku Dayak Salako juga terdapat di wilayah Distrik Lundu, Sarawak, Malaysia Barat. Mereka tersebar di 21 kampung, yaitu Poe, Siru’, Sabaat, Tembaga, Paon, Samapu’, Judin, Sabaho’, Sarayan, Sabiris, Tibaro, Jampari, Sidamak, Sabigo, Rukapm, Sidaikng, Tanjam, Jangkar, Jantatn, Biawak, dan Bapangokng (Pasir Ulu).
Dayak Salako dan Iban, secara kebahasaan memang sudah banyak dikaji oleh para linguis. Hudson (1970) pernah mengelompokkan kelompok ini ke dalam kelompok ‘Dayak-Melayik’. Nothofer (1997) dan Adelaar (1985, 1992) memperkenalkan istilah ‘Melayik’ untuk menggambarkan suatu subkelompok yang anggotanya termasuk semua dialek Melayu dan juga varian bahasa yang berhubungan dekat yang tidak biasanya dianggap sebagai dialek Melayu, termasuk Iban, Selako, dan Kendayan (Adelaar 1995a: 4443 dalam Collins, 1999). Memang secara kebahasaan, dari aspek fonologi, semantik, dan leksikal, bahasa yang tergolong dalam rumpun Melayik menunjukkan kesamaan.
Di Kabupaten Bengkayang, istilah Salako yang ditujukan untuk menyebut penutur bahasa Badamea, tidak dikenal oleh penuturnya. Istilah Selako atau Salako hanya populer di wilayah Kecamatan Sajingan, Sambas, dan Malaysia. Sedangkan di Kecamatan Samalantan, mereka diidentifikasi menurut wilayah adat atau binua tempat tinggal mereka. Nama yang lebih umum dikenal di kalangan masyarakat adalah Dayak Kanayatn. Jadi proses pengidentifikasian yang lengkap melibatkan unsur bahasa, binua, dan istilah Kanayatn, sehingga dikenal Dayak Kanayatn Gajekng Badamea. Suku Dayak Salako masih memiliki subsuku lagi yaitu:
1.    Salako Badamea-Gajekng
2.    Salako Garantukng Sakawokng

Friday 15 March 2013

Apakah Pra-Paska?


Pra-Paska adalah musim persediaan Kristian sebelum Paska. Dalam agama Kristian Barat, Rabu Abu menandakan hari pertama, atau permulaan musim Pra-Paska, yang bermula 40 hari sebelum Paska (Ahad tidak termasuk dalam kiraan).

Pra-Paska adalah satu-satunya masa dimana ramai orang Kristian bersedia untuk Paska dengan memerhatikan tempoh disiplin puasa, pertaubatan, kesederhanaan dan rohani. Tujuannya adalah untuk mengetepikan masa duniawi dan seterusnya memberi renungan kepada Yesus Kristus - penderitaan dan pengorbanan, hidup, kematian, pengebumian dan kebangkitanNya.


Tidak semua gereja-gereja Kristian memberi perhatian terhadap Pra-Paska. Pra-Paska lazimnya diberi perhatian oleh Gereja Lutheran, Methodist, Presbyterian dan mazhab Anglikan, juga oleh Roman Katolik. Gereja Ortodoks Timur mendalami Pra-Paska atau "Great Lent", dalam tempoh 6 minggu atau 40 hari sebelum hari Ahad Palma dengan berpuasa berterusan sepanjang Minggu Suci Ortodoks Paska. Pra-Paska untuk gereja-gereja Ortodoks Timur bermula pada hari Isnin (dipanggil Isnin Bersih) dan Rabu Abu tidak diberi keutamaan.

Alkitab tidak menyebut Pra-Paska, bagaimanapun, amalan taubat dan berkabung dalam abu didapati dalam 2 Samuel 13:19; Ester 4:01; Ayub 02:08; Daniel 9:03; dan Matius 11:21.

Paus Francis Beri Amaran Akan Bahaya Ketidakgiatan Gereja


VATICAN CITY - Paus Francis memberi amaran kepada Gereja Katolik, sesusungguhnya berisiko menjadi tidak beramal serta kurang asas rohani jika ia gagal untuk menjalani pembaharuan.

Berasal dari Argentina dan berusia 76-tahun memberitahu kardinal yang melantik beliau sebagai paus pertama Amerika Latin.

"Saya mohon bagi kita semua selepas hari ini,  agar diberi rahmat untuk mempunyai keberanian berjalan di dalam kehadiran Tuhan," Francis berkata dalam misa pertama beliau, di tengah-tengah keindahan "Sistine Chapel".

Pope Francis
Beliau memberi amaran kepada kardinal terhadap "Kehidupan Syaitan".

Ketua baru  1200000000 orang Katolik di dunia, yang dahulunya dikenali sebagai Cardinal Jorge Mario Bergoglio, telah memulakan pemerintahannya dengan berjumpa umat di Rom dan meletakkan sejambak bunga dalam penghormatan kepada Perawan Maria di sebuah gereja di sana.