Sumber : http://www.kebudayaan-dayak.org
Dayak Salako adalah
sekelompok subsuku Dayak yang bermukim di kawasan Perbatasan Kalimantan Barat, Indonesia dengan Sarawak Malaysia.
Letak pemukiman masyarakat Salako berada di dataran-dataran tinggi, yaitu di
kawasan perbukitan yang memanjang dari ujung pulau dekat laut (Paloh) di daerah
Kampung Bamatn sampai ke Kampung Sajingan yang langsung berbatasan dengan
Kampung Biawak daerah Lundu-Malaysia Barat. Dataran tinggi yang memanjang dari
Kampung Bamatn (Sunge Baning) sampai ke Kampung Sajingan besar ini disebut
Pegunungan Poe. Pegunungan Poe menjadi batas langsung antara Indonesia dan
Malaysia.
Di wilayah Salako mengalir satu sungai yang disebut Sungai
Bantanan. Sungai ini bermuara di Sungai Sambas daerah Galing dan mengalir ke
Laut Cina Selatan. Nama Bantanan diabadikan untuk memberikan nama bagi wilayah
adat mereka, yaitu Binua Bantanan. Kekayaan alam yang utama di daerah Salako
adalah kayu yang mempunyai nilai tinggi di pasaran dunia. Jenis-jenis kayu
berkualitas tinggi di antaranya adalah kayu belian, meranti, mabang, bengkirai,
dan lain sebagainya. Namun sayang sekali, sejak kawasan tersebut diserahkan
kepada PT Yamaker, berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 79. II-1967,
pada tanggal 1 November 1967 dengan areal penguasaan seluas kurang lebih
843.500 hektar, kawasan hutan Dayak Salako menjadi rusak berat.
Padahal sebelum mengelola kawasan ini berdasarkan Forest
Agreement, PT Yamaker ditugaskan selain mengusahakan hutan juga mensejahterakan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat dan mengamankan wilayah perbatasan.
Ternyata setelah beroperasi selama lebih dari 30 tahun, kondisi sumber daya hutan
di wilayah ini rusak berat. Misi untuk mengamankan wilayah dari aktivitas
penyelundupan, pencurian kayu, dan perambahan batas negara tidak tercapai. Misi
mensejahterakan penduduk hanyalah pepesan kosong belaka. Malahan penduduknya
semakin miskin karena kehilangan hutan sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan
pokok mereka.
Banyak penduduk Salako di wilayah ini yang tidak dapat
melanjutkan sekolahnya karena ketiadaan biaya.Satu-satunya jalan yang
menghubungkan Sambas dengan Sajingan sampai ke Aruk dan Biawak, hingga saat ini
belum jadi padahal kayu yang diangkut keluar wilayah Dayak Salako ini bernilai
miliaran dollar Amerika Serikat. Selain itu, hukum adat] yang mengatur tatanan
kehidupan masyarakat juga hancur. Generasi muda juga sudah mulai meninggalkan
adat tradisi nenek moyang mereka. Generasi mudanya enggan untuk menetap di
wilayah adat mereka. Hal ini bisa dimaklumi mengingat alamnya sudah tidak bisa
lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka akan makanan dan akan
tempat tinggal yang aman bebas dari gangguan.
Penduduk Salako di Kecamatan Sajingan Besar harus berbesar
hati melihat sanak saudara mereka di negeri jiran hidup lebih makmur dan
sejahtera dibandingkan dengan keadaan mereka di Kalimantan Barat. Nasib mereka
ternyata ditentukan oleh pihak lain, yaitu pemerintah yang salah satunya
melalui perusahaan kayu yang beroperasi di kawasan adat mereka.
Jika dilihat dari asal-usulnya, maka pada zaman dahulu—tidak
diketahui secara pasti entah tahun berapa—sekelompok orang di wilayah Binua
Aya’ yang arti harafiahnya ‘wilayah yang besar’ bermufakat untuk mencarai
daerah baru untuk dijadikan tempat kawasan tempat tinggal dan mencari nafkah,
seperti berladang, berkebun, dan berburu. Binua Aya’ ini diperkirakan berasal
dari Binua Pakana, Garantukng, Gado’, Gajekng, Sawak, Sango, dan Garantukng
Sakawokng, mulai dari wilayah Mempawah Hulu hingga di dataran rendah Bukit
Bawakng di Kecamatan Samalantan, Subale, Nyarumkop, dan sekitarnya. Alasan
kepindahan ini tidak diketahui secara pasti, apakah karena berperang, bencana
alam, atau mungkin karena adanya desakan dari pendantang baru ke wilayah
mereka.
Orang-orang Salako menyebut Binua Aya’ ini sebagai tanah
asal-usul mereka. Namun Binua Aya’ bukan merupakan binua atau wilayah adat yang
berdiri sendiri. Ia merupakan suatu kawasan yang masih terdiri dari beberapa
wilayah adat lagi. Konsep Binua Aya’ sebetulnya hanya mau menjelaskan tentang
daerah asal-usul (homeland). Menurut tradisi lisan, perjalanan mereka diawali
dari daerah Binua Pakana di wilayah Mampawah Hulu. Rombongan ini bermaksud mau
mencari daerah baru yang masih belum diketahui tempatnya. Sebelum rombongan
berangkat, ketua adat di wilayah Pakana menyarankan agar dibuat terlebih dahulu
upacara adat atau ritual adat. Ritual adat ini mereka sebut batanung. Tujuannya adalah
untuk menentukan wilayah yang cocok untuk dijadikan sebagai kawasan tempat tinggal
atau kampung.
Setelah ditentukan arah yang akan dituju, semua orang di
dalam kelompok tersebut membawa masing-masing segumpal tanah yang mereka ambil
dari wilayah Binua Aya’. Melalui upacara adat batanung, diadakan upacara khusus
untuk memastikan tempat yang cocok, aman, dan subur untuk tempat tinggal,
berladang, serta banyak binatang buruan di hutan. Pertanda yang tampak adalah,
kalau mereka tiba di suatu tempat dan mendapati tangan mereka yang menggenggam
tanah bergetar, itu tandanya tempat tersebut cocok untuk mereka tinggali.
Langkah selanjutnya adalah membuat upacara adat di tempat tersebut. Tujuannya
adalah meminta izin kepada penunggu tanah atau tempat tersebut agar mereka
diperkenankan berdiam di tempat tersebut.
Setelah berjalan berhari-hari, mereka belum juga memperoleh
pertanda mengenai tanah yang cocok untuk didiami. Tanpa mengenal rasa putus
asa,mereka meneruskan perjalanan. Namun setelah berhari-hari berjalan, mereka
pun mulai merasa putus asa dan kelelahan. Mau kembali ke tanah asal-usulnya di
daerah Mempawah Hulu kepalang tanggung karena tiada pilihan terbaik. Dengan
demikian, mereka meneruskan perjalanan. Pada suatu ketika, rombongan ini
dihadang oleh sungai besar. Mereka mengalami kesulitan untuk menyeberangi
sungai tersebut. Rasa putus asa pun memuncak. Mereka saling mempersalahkan satu
sama lain. ”Ini salah Kao!” katasalah seorang rombongan, dan dibalas oleh yang
lain, ”Salah Kao!” dan seterusnya. Sejak saat itu, tempat tersebut disebut
Salako. Sungai yang mengalir itu pun disebut Sungai Salako.
Ada juga cerita versi lain yang mengatakan bahwa pada zaman
dulu, banyak anjing liar (sejenis serigala) di wilayah tersebut. Anjing liar
ini dinamakan lako yang dalam bahasa Badamea disebut ako. Setiap malam
anjing-anjing liar ini selalu menyalak, sehingga disebut salak ako. Jadi,
Salako berasal dari kata salak lako/ako, yang artinya ‘salak anjing liar yang
bernama lako/ako’ (Simon Takdir,2002). Diceritakan kemudian, dengan menggunakan
rakit rombongan ini berhasil menyeberangi Sungai Salako tersebut. Sesampainya
di Kampung Galing dan Paloh, belum juga ada tanda-tanda bergetarnya tangan
mereka yang menggenggam tanah. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju
Perbatasan Sarawak,
wilayah Sajingan yang terletak di kaki Pegunungan Poe. Sebelum mencapai kaki
Gunung Poe, tiba-tiba ada getaran seolah-olah ada gempa. Yang paling keras
bergetar adalah tangan mereka yang menggenggam tanah. Hal ini menandakan bahwa
mereka telah sampai pada tempat tujuan. Oleh karena itu, mereka segera membuat
ritual adat atau upacara adat di tanah yang baru itu. Tujuannya ialah untuk
meminta izin kepada penunggu tanah (roh halus atau kamang) agar mereka
diperbolehkan menetap di tempat tersebut.
Pegunungan Poe memanjang dari arah selatan (berbatasan laut
Cina Selatan) ke utara Perbatasan Kalimantan Barat-Indonesia dan
Sarawak-Malaysia Barat. Jika diperhatikan, keadaan alam yang menjadi pemisah
Indonesia dan Malaysia merupakan kawasan perbukitan terjal yang memanjang dari
wilayah Sambas hingga ke kawasan Taman Nasional Betung Kerihun. Namun demikian,
batas geografis ini tidak berarti apa-apa dalam memisahkan suku Salako dan
bahasa yang mereka tuturkan. Hal ini selaras dengan pendapat pakar ilmu bahasa
dari Malaysia, Asmah Haji Omar (1970) yang mengatakan bahwa, “Batas wilayah
tidak seharusnya sama dengan batas dialek.” Dalam kasus ini termasuk juga
bahasa dan penuturnya. Di wilayah Lundu-Sarawak, Malaysia, ada 21 kampung yang
termasuk Kampung Kayak Salako yang menuturkan bahasa Salako.
Pada Dayak Salako di Sajingan dan Lundu, ada dua jenis adat
yang mengatur tatatan kehidupan masyarakat Salako, yaitu adat Salako
Gajekng dan adat Salako Sangkuku’ (lihat Schneider,
1978:74). Dalam implementasinya, kedua jenis adat ini tidak ada bedanya, semua
perangkat adat dan tata cara ritualnya pada dasarnya sama. Yang membedakan
keduanya adalah cara ngalepet (membungkus) bontokng.22 Pada Adat Salako
Gajekng, lepet (bungkus) bontokng-nya disebut lepet amo’ (bungkus nasi).
Sedangkan pada Adat Salako Sangkuku’ disebut lepet karake’ atau lepet sirih.
Aliran Adat Salako Gajekng melibatkan para panglima, pamane (orang yang cerdik
pandai), dan pabanci (orang yang terkenal karena pandai adat istidat, kaya,
berkuasa, dan berwibawa). Tugas mereka adalah mengatur dan menentukan jenis dan
perangkat adat serta jalannya upacara ritual adat. Sedangkan Salako Sangkuku’
dilaksanakan oleh rakyat kebanyakan, mereka termasuk pelaksana adat atau pelaku
adat. Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang menyolok antara para pelaku
adat aliran Gajekng dan Sangkuku’.
Jika ditilik dari faktor fisik, budaya, kebahasaan, dan
kekerabatan maka fakta-fakta ini semakin memperkuat bahwa kedua kelompok ini
merupakan satu kelompok. Namun sejak mereka mulai membedakan diri berdasarkan
ritual adat di atas termasuk cerita asal-usul yang menyertainya. Kelompok ini
menjadi terbagi dua aliran adat, yaitu aliran adat Salako Gajekng dan aliran
adat Salako Sangkuku,’(bandingkan dengan Schneider, 1978:74).
Sebelum kedatangan agama Kristen Katholik di kalangan
masyarakat Dayak Salako, kelompok ini juga mengenal dan mempraktikkan adat
tradisi yang dikenal dengan nama bakayo (mencari kepala musuh). Pada zaman
bakayo tempo dulu, musuh Dayak Salako adalah suku Dayak Iban dan
Dayak Sebuyau di wilayah
sebelah utara yaitu Sarawak dan sekitar Perbatasan Kalimantan Barat. Dayak Iban
dan Sebuyau terkenal karena keagresifan, keberanian, dan kesukaannya berperang.
Seorang tokoh Dayak Salako yang terkenal karena keberaniannya membela dan
mempertahankan wilayah Salako dari invasi luar adalah Nek Dibo’.
Nek Dibo’ dikenal juga dengan nama Panglima Kayo.
Ada beberapa adat istiadat yang masih dipraktikkan oleh
orang Dayak Salako, yaitu adat babuakng sia (basunat), adat
napukng tawar (basaru’ sumangat), adat naikkatn padi barahu (adat
naik dango),adat bapera’ (adat melahirkan), adat perkawinan,
dan sebagainya. Ada beberapa bahan yang harus disiapkan dalam melaksanakan
upacara adat tersebut, misalnya dalam adat babuakng sia (sunat) secara umum
yang harus disediakan adalah enyekng ‘babi’, manok ‘ayam’, gula, kopi, minyak
goreng, dan lain sebagainya. Adat babuakng sia atau basunat diterapkan pada
anak laki-laki yang baru mau menginjak usia remaja. Bahan-bahan untuk upacara
adat tergantung sepenuhnya pada kemampuan masing-masing keluarga yang
menyelenggarakannya.
Bahan–bahan untuk adat napukng tawar terdiri dari tapukng
sakampel ‘tepung satu kampel’ untuk membuat tumpi ‘kue yang khusus
diperuntukkan dalam upacara adat’, pingatn ‘piring’, iso’ ‘pisau’, duit, baras
poe’ ‘beras pulut’, baras sunguh ‘beras dari ladang’, pinang, karake’ ‘sirih’,
dan timako ‘tembakau’. Untuk membayar bidan beranak, maka beberapa bahan
tersebut di atas diserahkan dalam keadaan mentah. Sedangkan pada aliran Salako
Sangkuku’, bahan-bahan untuk upacara adat napukng tawar yang harus diserahkan
terdiri dari manok 3 eko’ ‘ayam tiga ekor’, binyak goreng ‘minyak goreng’,
baras poe’ ‘beras pulut’, beras sunguh ‘beras dari ladang’, bontokng, kapur,
pingatn ‘piring’, iso’ ‘pisau’, duit, karake’ ‘daunsirih’, timako ‘tembakau’.
Pembagian bahan-bahan ritual adat tersebut sudah diatur
sebagai berikut, yaitu satu ekor untuk adat, setengah ekor untuk bidan dan satu
setengah ekor untuk tuan rumah. Dalam aliran adat Salako Gajekng, bontokng
harus di-lepet amo’, maksudnya beras yang dimasak dalam daun jenis palem, namun
arah lipatannya harus ke belakang. Sedangkan pada aliran adat Salako Sangkuku’,
bontokng-nya harus dilipat karake’, artinya daun untuk membungkus bontokng tadi
harus dilipat searah permukaan atas daun.
Subsuku Dayak Salako-Badamea yang bermukim di Kabupaten Sambas menyebar di Binua
Bantanan yang terletak di Kecamantan Sajingan, yaitu di Kampung Tapakng,
Kuranyi, Ngole’, Sajingan, Sunge Ano, Bamatn (Sunge Baning), Asu’ Asakng,
Tanyukng, Batu Itapm, Sawah, Sasak, Batakng Aer(Kalimantan), dan Nyala’
(Sanipahan). Kelompok ini tersebar hingga ke wilayah Kecamatan Tebas, yaitu di
Kampung Parranyo.
Total jumlah Dayak Salako di Sajingan dan Tebas yaitu 7.294
jiwa di Sajingan Besar dan 706 jiwa di Parranyo, Pangkalan Kongsi, dan
sekitarnya (sensus Tahun 2001). Subsuku Dayak Salako juga terdapat di wilayah
Distrik Lundu, Sarawak, Malaysia Barat. Mereka tersebar di 21 kampung, yaitu
Poe, Siru’, Sabaat, Tembaga, Paon, Samapu’, Judin, Sabaho’, Sarayan, Sabiris,
Tibaro, Jampari, Sidamak, Sabigo, Rukapm, Sidaikng, Tanjam, Jangkar, Jantatn,
Biawak, dan Bapangokng (Pasir Ulu).
Dayak Salako dan Iban,
secara kebahasaan memang sudah banyak dikaji oleh para linguis. Hudson (1970)
pernah mengelompokkan kelompok ini ke dalam kelompok ‘Dayak-Melayik’. Nothofer
(1997) dan Adelaar (1985, 1992) memperkenalkan istilah ‘Melayik’ untuk
menggambarkan suatu subkelompok yang anggotanya termasuk semua dialek Melayu dan
juga varian bahasa yang berhubungan dekat yang tidak biasanya dianggap sebagai
dialek Melayu, termasuk Iban, Selako, dan Kendayan (Adelaar 1995a: 4443 dalam
Collins, 1999). Memang secara kebahasaan, dari aspek fonologi, semantik, dan
leksikal, bahasa yang tergolong dalam rumpun Melayik menunjukkan kesamaan.
Di Kabupaten Bengkayang, istilah Salako yang ditujukan untuk
menyebut penutur bahasa Badamea, tidak dikenal oleh penuturnya. Istilah Selako
atau Salako hanya populer di wilayah Kecamatan Sajingan, Sambas, dan Malaysia.
Sedangkan di Kecamatan Samalantan, mereka diidentifikasi menurut wilayah adat
atau binua tempat tinggal mereka. Nama yang lebih umum dikenal di kalangan
masyarakat adalah Dayak Kanayatn.
Jadi proses pengidentifikasian yang lengkap melibatkan unsur bahasa, binua, dan
istilah Kanayatn, sehingga dikenal Dayak Kanayatn Gajekng Badamea. Suku Dayak
Salako masih memiliki subsuku lagi yaitu:
1.
Salako Badamea-Gajekng
2.
Salako Garantukng Sakawokng